Jumat, 24 April 2020

Fiqh Sholat Pengantar Perbedaan Mazhab

Fiqh Sholat Pengantar Perbedaan Mazhab
oleh Ustadzah Meti Astuti MEK

Definisi Mazhab secara etimologi, yaitu berasal dari Shgoh Masdar Mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari Fi'il Madhy yang artinya pergi, artinya pendapat.

Secara terminologi ada beberapa pendapat, antara lain:
Said Ramadhanu al-Buthy, adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al Qur'an dan Al-Hadist.

A. Hasan, yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim ulama besar dalam urusan agama baik dalam masalah ibadah maupun masalah lainnya.

Huzaemah Tahido Yanggo (profesor Al Azhar Mesir), adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam Mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistinbatkan hukum Islam.

9 Peletak Ushul (dasar-dasar yang digunakan untuk menggali hukum sehingga membentuk Manhaj (metode) Fiqh Al-Ma'ruf, yaitu:
1. Abu Sa'id al-Hasan bin Yasar al-Bashry (wafat 110 H).
2. Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabr bin Zauthy (wafat 150 H).
3. Auza'iy Abu Amr Abd. Rahman bin Amr bin Muhammad (wafat 175 H).
4. Sufyan bin Sa'id bin Masruq al-Tsury (wafat 160 H).
5. al-Laits bin Sa'ad (wafat 175 H).
6. Malik bin Anas al-Ashabahy (wafat 198 H).
7. Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H).
8. Muhammad bin Indris al-Syafi'i (wafat 204 H).
9. Ahmad Ibnu Hanbal (wafat 241 H).

Rekomendasi Literatur
1. Asbab Ikhtilaf Al Fuqaha - Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turky.
2. Bidayatul Mujtahid - Ibnu Rusyd.
3. Kitab Fiqh Empat Mahzab - Ab-ur-Rahman bin Muhammad 'Awd Al-Jazeeri.
4. Prof. Dr. Mahmud Syaltut & Prof M. Ali al-Sayis.
5. Tarikh Tasyri' - Dr. Rasyad Hasan Khalil.
6. Al Fiqh 'Ala Al Madzhaahib Al Khamsah - Muhammad Jawad Mughniyah.
7. Pengantar Perbandingan Mazhab - Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo.

Mazhab dan Alasan Perbedaannya
Isma'il Muhammad Misya'al Atsar al-Khilaf al-Fiqhi fi al-Qawaid al-Mukhtalif fiha:
1. Perbedaan dalam penggunaan kaidah ushuliyah dan penggunaan sumber-sumber istinbath (penggalian) lainnya. Kaidah ushuliyah ini adalah kaidah-kaidah bahasa yang dirumuskan oleh para imam setelah mereka memahami atau berusaha mendalami ayat-ayat dalam Al Qur'an, dan juga hadist mutawatir.
2. Perbedaan yang mencolok dari aspek kebahasaan dalam memahami suatu nash,
3. Perbedaan dalam ijtihad tentang ilmu hadist. Adakalanya suatu hadist dipandang shahih oleh ulama tertentu, lalu dipandang hasan oleh ulama lainnya. Bahkan hadist tersebut sampai ke pada ulama tertentu tapi tidak sampai pada ulama lainnya.
4. Perbedaan tentang metode kompromi hadist (al-jam'u) dan mentarjihnya (al-tarjih) yang secara zahir maknanya bertentangan.

Sebab Perbedaan
Muhammad al-Madani dalam bukunya, Asbab Ikhtilaf al-Fuqaha,
1. Perbedaan pemahaman Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah, karena dalam Al Qur'an ada ayat-ayat (lafal) mustaroq yang memiliki makna berbeda didalamnya.
2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah, misalnya ketentuan tersebut berlaku hanya untuk Rasulullah saja atau untuk seluruh kaum muslimin.
3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan kaidah-kaidah ushuliyah,
4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di luar Al Qur'an dan Sunnag Rasulullah.

Pengertian Hukum Syara'
Kata "al hukmu" menurut bahasa, artinya "al man'u", yakni mencegah. Misalnya ungkapan:
Hakama al hishan, seseorang "menghukum" kuda, artinya dia mencegah kuda itu supaya tidak lari.
(M. Husain Abdulullah)

Hukum syara' adalah seruan/firman dari Allah yang terkait dengan perbuatan-perbuatan para orang yang terhubung dengan hukum (mukallaf), baik berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan sesuatu sebagai pengatur hukum. (Wahbah Az Zuhaili).

2 Aspek Hukum Syara', dimana manusia harus terikat dengan hal tersebut, yaitu:
Hukum Taklifi
Hukum yang mengatur perbuatan manusia dengan tuntutan (thalab) dan pemberian pilihan (takhyir).
1. Tuntutan Tegas (thalab jazim): wajib, haram
2. Tuntutan Tidak Tegas (thalab ghoiru jazim): sunnah, makruh
3. Pemberian pilihan (takhyiir): mubah

Hukum Wadh'i
Hukum-hukum untuk mengatur hukum taklifi. Ketika seseorang melakukan suatu kewajiban, maka didalamnya terdapat:
1. Sebab
2. Syarat (rukun)
3. Mani'
4. Azimah-Rukhsoh
5. Sah-Fasad-Batal

Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh'i
Hukum Taklifi
1. Langsung mengatur perbuatan manusia: sholat hukumnya wajib.
2. Dibawah kuasa mukallaf: wajibnya wudhu sebagai syarat sah sholat.

Hukum Wadh'i,
1. Mengatur perbuatan manusia, tetapi tidak secara langsung: syarat sah sholat adalah wudhu.
2. Terkadang dibawah kuasa manusia: wajibnya wudhu sebagai syarat sahnya sholat. Terkadang tidak dibawah kuasa manusia, seperti: tergelincirnya matahari menjadi sebab tibanya waktu sholat.

Wajib dan Fardhu menurut jumhur ulama (selain ulana mazhab Hanafi) artinya sama. Menurut ulama Hanafiyah, fardhu adalah apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil qath'i (qath'i tsubut dan qath'i dalalah), seperti zakat. Sedangkan wajib adalah, apa-apa yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni, seperti zakat fitrah. Boleh ditetapkan tidak berdasarkan Al Qur'an, tetapi berdasarkan hadist ahad (hadist tidak harus mutawatir) (M. Husain Abdullah).

Wajib atau fardhu dapat juga didefinisikan apa-apa yang diberi pahal atau dipuji bagi yang melaksanakannya dan yang akan disiksa dan dicela bagi yang meninggalkannya.

Macam-macam wajib menurut waktu pelaksanaannya:
1. Wajib Mutlak, waktunya tidak tertentu. Misalnya membayar kaffarah atau nadzar yang bersifat mutlak, mengqadha puasa Ramadhan (menurut Hanafiyah).
2. Wajib Muqayyad, waktunya sudah ditentukan. Misalnya sholat 5 waktu, puasa Ramadhan. Wajib Muqayyad dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Wajib Muwassa', yaitu pelaksanaan kewajiban pada waktu tertentu tapi masih memungkinkan mengerjakan yang semisalnya, misal sholat dzuhur dan juga mengerjakan sholat sunnah yang lain di waktu dzuhur. Sifatnya lebih luas (banyak).
b. Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban pada waktu tertentu, tetapi tidak memungkinkan mengerjakan yang semisalnya, contoh Puasa Ramadhan tidak bisa bersamaan dengan Puasa Senin Kamis di bulan Ramadhan.

Pembagian Wajib berdasarkan tertentu tidaknya kewajiban
1. Wajib Mu'ayyan, yaitu kewajiban yang sudah tertentu dan tidak bisa digantikan yang lain. Contoh: sholat 5 waktu, tidak bisa digantikan dengan membaca Al Qur'an, atau puasa tidak bisa diganti dengan sedekah.
2. Wajib Mukhayyar (Wajib Ghair Mu'ayyan), yaitu kewajiban yang tidak tertentu dan bisa digantikan dengan yang lain. Contoh: Kaffarah melanggar sumpah (Q.S. Al Maidah: 89) bisa diganti dengan membebaskan budak, memberi makan fakir miskin atau berpuasa 3 hari berturut-turut.

Pembagian Wajib berdasarkan Mukallaf pelakunya
1. Wajib 'Ain, yaitu kewajiban yang berlaku untuk setiap mukallaf, bukan sebagian saja dari mukallaf. Setiap individu wajib melakukannya tanpa bisa diwakilkan. Contoh: sholat 5 waktu, Puasa Ramadhan.
2. Wajib Kifayah, yaitu kewajiban gugur jika sudah dilaksanakan oleh sebagian, gugur kewajiban sebagian lainnya yang tidak mengerjakan. Contoh: sholat jenazah.

Pembagian wajib berdasarkan penetapan kadarnya
1. Wajib Muhaddadul Miqdar, yaitu kewajiban yang sudah ditetapkan kadarnya atau ukurannya. Contoh: jumlah rakaat sholat 5 waktu, zakat.
2. Wajib Ghair Muhaddad Al Miqdar, yaitu kewajibab yang tidak ditetapkan kadarnya atau ukurannya. Contoh: infaq fi sabilillah (jihad), kadar nafkah.

Kaidah: Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa waajib.
Artinya: sesuatu yang dapat menjadi wajib jika tanpa sesuatu itu akan mengakibatkan suatu kewajiban tidak terlaksana. Contoh: belajar bahasa Arab wajib, karena tidak mungkin memahami Al Qur'an dengan sempurna kecuali dengan bahasa Arab. (Imam Syafi'i).
Contoh: menegakkan Khilafah wajib, karena tidak mungkin menerapkan syariah secara kaffah  kecuali dalam negara khilafah.

Catatan tentang Mandub (Sunnah)
Mandub dapat didefinisikan apa-apa yang pelakunya dipuji dan diberi pahala dan tidak dicela bagi yang tidak melakukannya.
Istilah lain mandub: sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu'.
Walaupun tidak wajib, tetapi muslim dianjurkan memperbanyak yang mandub.
Hikmah mengerjakan yang mandub, yaitu menghapus dosa (Q.S. Huud: 114).
Ada kalanya suatu perbuatan mandub bagi orang per orang, tetapi wajib bagi umat secara keseluruhan. Contoh: menikah.

Haram
Dapat didefinisikan apa-apa yang pelakunya dicela dan berhak mendapat siksa serta bagi yang meninggalkannya mendapat pahala. Istilah lain dari haram, yaitu Mahzhuur atau Hazhar.

Pembagian Haram
1. Haram li dzatihi, yaitu haram pada sesuatu itu sendiri, seperti zina, minum khamr.
2. Haram li ghairihi, yaitu haram bukan pada dirinya sendiri, tetapi karena ada illat syar'iyah yang mengharamkannya. Contoh: jual beli saat adzan Jum'at.

Makruh
Merupakan perbuatan yang jika ditinggalkan akan mendapat pahala dan tidak disiksa jika dikerjakan. Contoh: indho'atul maal (boros).

Menurut ulama Hanafiyah, makruh ada dua:
1. Makruh tahriim, yaitu makruh yang pelakunya berhak mendapat siksa.
2. Makruh tanziih, yaitu makruh yang pelakunya tidak mendapat siksa.

Jumhur ulama menetapkan bahwa perbuatan yang berhak mendapat siksa lebih tepat digolongkan kepada haram, bukan makruh.

Mubah
Bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalilnya, melainkan sesuatu yang ada dalil yang menunjukkan kemubahannya.

Kaidah tentang benda: Al ashlu fil asy-yaa' al ibaahah maa lam yarid dalil at tahrim.
Artinya: hukum asal mengenai benda-benda adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan.
Tidak ada dalil spesifik tentang kol, meja, kursi dan sebagainya. Maka, kita bisa menggunakan dalil-dalil umum yang tidak menyebutkan keharamannya. Namun, ketika telah tersebutkan keharamannya, contoh haramnya bangkai, darah, nanah, binatang yang tidak disembelih dengan nama Allah Subhanallahu Wata'ala, maka keharamannya telah pasti karena ada dalil yang mengharamkannya. 
Jika tidak ditemukan dalil keharamannya, maka termasuk ke dalam kategori kemubahan yang telah tercakup dalam dalil umum tentang kemubahan benda-benda yang Allah Subhanallahu Wata'ala ciptakan di alam semesta ini.

Hukum Taklifi
Hukum syara' merupakan seruan (thalab) dari pembuat hukum terhadap hambanya. Untuk bisa ditarik hukumnya, seruan/tuntutan ini membutuhkan Qarinah (penunjukkan atau dilalah tertentu).

Qarinah dan Macamnya
Qarinah dalam bahasa Arab berasal dari kata Qarana yang artinya jama'a (menggabungkan atau mengumpulkan atau shaahaba (membarengi atau membersamai).
Qarinah menurut pengertian bahasa Arab artinya adalah sesuatu yang berkumpul atau membersamain sesuatu yang lain.

Adapun menurut istilah ushul fiqih, qarinah adalah setiap apa-apa yang memperjelas jenis tuntutan dan menentukan makna tuntutan itu jika dia digabungkan atau dibarengkan dengan tuntutan tersebut. (Kullu maa yubayyin nau' al thalab wa yuhaddidu ma'naha idzaa maa jama'a ilaihi wa shaahabahu).

Qarinah ini tidak dapat dilepaskan dari kaidah ushul fiqih (qa'idah ushuliyah) yang berbunyi: 
Al ashlu fi ma'na al amr at thalab (asal dari makna perintah adalah tuntutan). Artinya, jika terdapat perintah (amr) dalam Al Qur'an atau As Sunnah, maka pengertian dasar dari amr itu adalah tuntutan (thalab). Yang menentukan jenis amr itu, apakah berupa amr yang jazm (tegas), atau amr yang ghair jazm (tidak tegas, misal berupa pujian atau celaan), atau amr yang berupa takhyir (pilihan) adalah qarinah.

Macam-Macam Qarinah
1. Qarinah yang menunjukkan jazim (hukum tegas), baik yang menunjukkan hukum haram maupun hukum wajib. Perintah meninggalkannya bersifat haram maka didalamnya terdapat celaan/hukuman, dan  jika perintahnya melaksanakannya bersifat tegas maka  ada pujian didalamnya.
2. Qarinah yang menunjukkan ghair jazim (hukum tidak tegas), baik yang menunjukkan hukum mandub (sunnah) maupun hukum makhruh.
3. Qarinah yang menunjukkan istiwa' (hukum mubah), yaitu qarinah yang menunjukkan kesamaan antara tuntutan mengerjakan dengan tuntutan meninggalkan perbuatan.

Hukum Wadh'i
Hukum dimana as Syari' (Allah Subhanallahu Wata'ala sebagai pembuat hukum) telah mengaitkan dua perkara di dalam satu hukum. Artinya, hukum wadh'i adalah hukum-hukum yang mengatur hukum. (Tasbit Al Khawaja).

Macam-Macam Hukum Wadh'iy
1. Sebab adalah sifat yang jelas dan konsisten yang ditunjukkan oleh dalil sam'i bahwa sifat itu adalah tanda atau pengenal adanya hukum (bukan tanda disyariatkannya hukum). Keberadaan sebab memastikan adanya musabab (akibat hukum), dan tiadanya sebab memastikan tiadanya musabab. Sebab adalah tanda akan adanya suatu hukum syara'. Contoh:
a. Sebab adanya sholat dzuhur adalah tergelincirnya matahari (Q.S. 17: 78).
b. Sebab adanya puasa Ramadhan adalah rukyatul hilal (menyaksikan bulan sabit). (H.R. Muslim).
Dalil wajibnya sholat/puasa bukan tanda adanya sholat/puasa.
Sebab-Musabab:
. Kekerabatan - Waris
. Keterpaksaan - Bolehnya memakan bangkai
. Perjalanan (safar) - Boleh berbuka puasa
. Akad nikah sah - pergaulan suami istri
. Akad nikah sah - Saling mewarisi/perwalian
. Pembunuhan - Qishash
. Zina - Hudud bagi Zina
. Penyembelihan Syar'i - Bolehnya memanfaatkan daging yang disembelih

2. Syarat adalah perkara yang kepadanya bergantung hukum. Ketiadaan syarat memastikan ketiadaan hukum, tetapi keberadaan syarat tidak memastikan keberadaan hukum. Contoh: Wudhu adalah syarat sholat, tanpa wudhu tidak akan ada sholat, tetapi adanya wudhu tidak memastikan adanya sholat. Contoh syarat dan masyruuth (hukum yang memerlukan syarat itu) sebagai berikut:
Syarat-Masyruuth
. Saksi - Nikah
. Mushonnya pezina - rajam atas pezina muhshon
. Hidupnya ahli waris - waris
. Dukhul kepada perempuan - haramnya nikah dengan anak gadis dari perempuan tersebut
. Haul - wajibnya zakat mal
. Menghadap kiblat - sholat
. Menutup aurat - sholat
. Tersimpannya barang - potong tangan pencuri

3. Mani' merupakan kebalikan dari sebab, yaitu apa-apa yang keberadaannya memastikan tiadanya hukum atau memastikan batalnya sebab. Mani' adalah kebalikan dari sebab. Contoh: haid dan nifas adalah mani' dilakukannya sholat bagi wanita. Hilangnya akal (tidur/gila) adalah mani' dilakukannya sholat, puasa dan lainnya.

4. Azimah-Rukhsoh.
Rukshoh adalah hukum syara' yang disyariatkan untuk meringankan azimah (hukum asal) karena suatu udzur (alasan) disertai tetapnya hukum azimah. Tidak mewajibkan hamba untuk melaksanakannya. Artinya, rukhsah adalah hukum yang disyariatkan Allah Subhanallahu Wata'ala sebagai keringanan bagi mukallaf dalam kondisi-kondisi yang khusus.
Masalah - Azimah - Rukhsah
. Makan daging babi - haram - boleh jika darurat
. Sholat Rubaiyah - 4 rakaat - 2 rakaat jika safar
. Puasa Ramadhan - Haram berbuka - boleh berbuka jika safar
. Melihat Aurat - haram - boleh bagi dokter karena ada hajat
. Sholat - Wajib berdiri - boleh duduk jika sakit
. Bersuci - Wudhu - Tayammum jika tiada air
. Makan bangkai dan minum khamr - haram - boleh jika darurat

5. Sah-Fasad-Batal.
Sah adalah sesuai dengan perintah Allah Subhanallahu Wata'ala. Sah digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di dunia, (lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut akibat suatu perbuatan di akhirat (pahala). Contoh: sholat yang sah, artinya pelakunya lepas dari tanggungan dan tidak dapat diadilu (akibat dunia) dan ada hatapan pahala (akibat akhirat).
Batal adalah lawan dari sah, yaitu tidak sesuai dengan perintah Allah Subhanallahu Wata'ala. Batal digunakan untuk menyebut tiadanya akibat suatu perbuatan di dunia (lepas dari tuntutan peradilan). Juga digunakan untuk menyebut akibat perbuatan di akhirat (azab). Contoh: sholat yang tidak memenuhi rukunnya disebut batal, artinya pelakunya tidak lepas dari tanggungan dan dapat diadili (akibat dunia) dan tiada harapan pahala (akibat akhirat).
Fasad adalah kondisi perbuatan yang pada asalnya sesuai syara', tetapi sifat dari perbuatan itu (di luar rukun dan syarat) membuat cacat perbuatan asal tersebut, yaitu menyimpang dari perintah Allah Subhanallahu Wata'ala. Fasad hanya ada pada muamalat, sedang dalam ibadah yang ada hanya sah dan batal saja. Contoh: orang kota berjual beli dengan orang dusun yang tidak mengetahui harga kota. Jual belinya secara asal adalah sah, tetapi ada sifat dalam jual beli itu, di luar rukun dan akad jual beli, yaitu pengetahuan tentang harga yang diketahui salah satu pihak, yang menyimpang dari syara'. Akad yang fasad tidak wajib diulang, tetapi cukup menyempurnakan apa yang dianggap cacat.
Perbuatan - Hukum Wadh'i
. Sholat memenuhi rukun dan syaratnya - sah
. Jual beli memenuhi rukum dan syaratnya - sah
. Sholat tanpa wudhu - batal
. Sholat tanpa membaca Al Fatihah - batal
. Haji tanpa wukuf di arafah - batal
. Puasa bagi perempuan yang haid dan nifas - batal
. Jual beli oleh orang gila, anak belum mumayyiz - batal
. Jual beli barang yang tidak ada - batal
. Akad nikah tanpa menentukan mahar - batal
. Akad nikah tanpa ijab kabul - batal
. Akad nikah bagi yang belum mumayyiz - batal
. Nikah dengan mahram padahal tahu keharamannya - batal
. Jual beli janin binatang yang masih di dalam perut (Malaqh) - batal
. Jual beli dengan harga yang tidak diketahui - fasad
. Akad nikah tanpa saksi - fasad
. Orang kota berjual beli dengan orang dusun - fasad
. Membeli barang yang sudah ditawar orang lain - fasad
. Nikahnya Muhallil - fasad
. Nikah dengan perempuan sebagai istri kelima - fasad
. Perempuan dinikahi sebagai istri baru, mensyaratkan suami menceraikan istri lama - fasad.

Catatan Seputar Sah, Batal, Fasad
Terdapat perbuatan-perbuatan yang sah, tidak termasuk fasad atau batal, tetapi pelakunya berdosa. Contoh: jual beli pada saat adzan Jum'at. Juga akad-akad lain yang diqiyaskan dengan contoh tersebut, contoh akad nikah pada saat adzan Jum'at, atau melakukan akad ijarah pada saat adzan Jum'at. Contoh: sholat di atas tanah rampasan, haji dengan harta yang haram.

Shalat
Secara bahasa adalah do'a.
Secara syariat yang dirumuskan para fuqaha', yaitu beberapa ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan salam dengan maksud beribadah kepada Allah Subhanallahu Wata'ala menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.

Rukun Shalat
Madzhab Hanafi
1. Takbiratul Ihram
2. Berdiri
3. Membaca Al Fatihah
4. Ruku' (sunnah membaca tasbih)
5. Sujud
6. Duduk Tasyahud Akhir

Madzhab Maliki
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al Fatihah
5. Ruku' (sunnah membaca tasbih)
6. I'tidal/bangun dari ruku'
7. Sujud
8. Duduk antara 2 sujud
9. Duduk tasyahud akhir
10. Membaca Tasyahud akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
12. Salam
13. Tertib

Mazhab Syafi'i
1. Niat
2. Takbiratul Ihram
3. Berdiri
4. Membaca Al Fatihah
5. Ruku' (sunnah membaca tasbih)
6. I'tidal/bangun dari ruku'
7. Sujud
8. Duduk antara 2 sujud
9. Duduk Tasyahud akhir
10. Membaca Tasyahud akhir
11. Membaca Shalawat Nabi
12. Salam
13. Tertib

Shalat dalam 4 Madzhab
Niat
semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta (Mughniyah, 2001).
Ibnu Qayyim dalam bukunya Zadul Ma'ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mugni, karya Ibnu Qudamah, yaitu:
Nabi Muhammad SAW bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan "Allahu Akbar" dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali (Mughniyah, 2001).
Dengan beritikad melaksanakan shalat, maka telah membuat shalat sah.

Takbiratul Ihram
Kunci shalat adalah bersuci dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalannya adalah salam. Takbiratul ihram adalah takbir yang mengindikasikan haramnya melakukan aktivitas lain selain aktivitas yang ada di dalam tertib shalat. 
Maliki dan Hambali: kalimat takbiratul ihram adalah "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar), tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Syafi'i: boleh mengganti "Allahu Akbar" dengan "Allahu Al-Akbar", ditambah dengan alif dan lam pada kata "Akbar".
Hanafi: boleh dengan kata-kata yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti "Allah Al-Adzam" dan "Allahu Al-Ajal" (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia). (Mughniyah, 2001).

Khilaf Ulama
Syafi'i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkan dalam bahasa Arab dalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). Jika tidak mengucapkan dalam bahasa Arab, maka tidak sah.
Hanafi: sah mengucapkan dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahsa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat, syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukan dengan berdiri, dan dalam mengucapkan kata "Allahu Akbar" itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.

Qiyam: Berdiri
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku', harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat: siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku' dan sujud tetap menghadap kiblat.

Bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi'i dan Hambali ia boleh sholat terlentang dan kepalanya menghadap kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.

Hanafi: bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha'-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.

Maliki: bila sampai seperti ini, maka gugurlah perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha'-nya.

Syafi'i dan Hambali: shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apapun. Maka, bila tidak mampun mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.

Bacaan - Hanafi
Membaca Al Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al Qur'an itu boleh berdasarkan AL Qur'an surat Muzammil ayat 20, "Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur'an,"
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk dari surat. Tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah, bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri dan di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan tangannya di atas dadanya.

Bacaan - Maliki
Membaca Al Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tidak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi'i, dan disunnahkan membaca surat Al Qur'an setelah Al Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya', serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu.

Bacaan - Syafi'i
Membaca Alfatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apapun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya', selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada shalat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al Qur'an setelah membaca Al Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapan tangan yang kiri dibawa dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.

Bacaan -  Hambali
Wajib membaca Al Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al Qur'an pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya' disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunnahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.

Lafadz Aamiin
Empat mazhab menyatakan bahwa membaca aamiin adalah sunnah, berdasarkan hadist Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi 'alaihim waladzdzaaliin, maka kalian harus mengucapkan aamiin."

Ruku
Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku' adalah wajib di dalam shalat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma'ninah di dalam ruku', yakni ketika ruku' semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.

Bacaan Ruku'
Hanafi: yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurusm dan tidak wajib thuma'ninah. Mazhab-mazhab yang lain: wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat tersebut berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan berthuma'ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku'.
Syafi'i, Hanafi dan Maliki: tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan, "Subhaana rabbiyal'adiim: Maha Suci Tuhanku Yang Agung."
Hambali: membaca tasbih ketika ruku' adalah wajib, yang berbunyi, "Subhaana rabbiyal 'adzim: Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."

I'tidal
Hanafi: tidak wajib mengangkat kepada dari ruku' yakni i'tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, tapi itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain: wajib mengangkat kepalanya dan ber-i'tidal, serta disunnahkan membaca tasmi', yaitu mengucapkan, "Sami'allahuliman hamidah: Allah mendengar orang yang memuji-Nya".

Sujud
semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
Maliki, Syafi'i, dan Hanafi: yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
Hambali: yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dan telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidup, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma'ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku'. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku' juga mewajibkannya di dalam sujud.
Hanafi: tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu.
Mazhab-mazhab yang lain: wajib duduk di antara dua sujud.

Tahiyat
Taiyyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian:
1. Tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat magrhib, isya', dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam.
2. Tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat dua rakaat, tiga atau empat rakaat.
Hambali: tahiyyat pertama itu wajib.
Mazhab-mazhab lain: hanya sunnah.
Syafi'i dan Hambali: tahiyyat terakhir adalah wajib.
Maliki dan Hanafi: hanya sunnah, bukan wajib.

Lafadz Tahiyyat - Hanafi
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi, "Attahiyyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu 'alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu'alainaa wa'alaa 'ibaadillahisshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illallah Wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warosuuluh."

Lafadz Tahiyyat - Maliki
Attahiyyatu lillahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah Assalaamu'alaikua ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakatuh Assalaamu'alainaa wa'alaa 'ibaadillahishshoolihiin Asyhadu anlaa ilaaha illahllah wahdahu laa syariikalah Wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warosuuluh.

Lafadz Tahiyyat - Syafi'i
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah Assalaamu'alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu'alainaa wa'alaa 'ibaadillahishsholihiin Asyahadu anlaa ilaaha illallah waasyhadu anna muhammadan 'abduhu warosuluh.

Lafadz Tahiyyat - Hambali
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu Assalaamu'alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh Assalaamu'alainaa wa'alaan ibaadillahisshoolihiin Asyahadu anla ilaaha illalah wahdahu laa syariikalah Waasyhadu anna muhammadan 'abduhu warosuluh Allahumma sholli 'alaa muhammad.

Salam
Syafi'i, Maliki, dan Hambali: mengucapkan salan adalah wajib.
Hanafi: tidak wajib.

Menurut 4 mazhab, kalimatnya sama, yaitu "Assalamu'alaikum warahmatullaah.
Hambali: wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang hanya mencukupkan satu kali yang wajib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar