Sabtu, 18 Juli 2020
Kisah Sedih Pendidikan Saat Wabah Covid-19 Melanda
Tahun pelajaran baru sudah dimulai, tapi untuk pelaksanannya kali ini sangat berbeda. Hal ini karena masih mewabahnya virus Covid-19 di Indonesia. Para peserta didik masih belajar #dirumahaja, terutama untuk lokasi yang mendapat predikat zona merah.
Sekolah anak-anak yang berada dalam zona merah di Jakarta pun juga masih menerapkan school from home (SFH) atau yang sekarang disebut dengan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Ada juga sebagian kalangan yang menyebutnya dengan Pembelajaran Jarak Jauh. Apapun istilahnya, semua kegiatan belajar mengajar tetap dilakukan secara daring dari tempat masing-masing.
Sudah hampir enam bulan lamanya, anak-anak belajar secara daring. Berbagai metode pembelajaran sudah diterapkan untuk memudahkan berbagai pihak, mulai dari tenaga pendidik, murid dan orangtua murid. Alhamdulillah, meski tidak selalu proses kegiatan belajar mengajar anak-anak tidak selalu berjalan mulus, tapi kemudahan sangat dirasakan semuanya.
Dalam suatu grup komunitas yang saya ikuti, ada teman yang bercerita, jika belajar daring ini sangat menyulitkan orangtua murid. Pasalnya, ada lebih dari satu jenis aplikasi yang digunakan sebagai media belajar murid. Contohnya, seorang murid memakai aplikasi WhatsApp, Google Classroom , Zoom dan Telegram untuk setiap proses belajar daring. Tidak hanya itu, saat proses belajar daring, orangtua harus mendokumentasikannya dalam bentuk foto dan video melalui aplikasi Timestamp Camera. Lalu ada teman lainnya yang berkomentar, "Jangan mau kaya gitu, ribet banget. Udah sekolah bayar mahal, tapi kok repot."
Ada benarnya juga ucapan teman tersebut, hehehe. Sementara di sekolah dasar islam terpadu tempat anak saya mengenyam pendidikan, Alhamdulillah sangat memudahkan. Tidak banyak aplikasi yang digunakan para murid untuk belajar daring. Semua materi pelajaran dikirim melalui aplikasi WhatsApp dalam bentuk word, ppt, pdf atau video. Untuk berinteraksi dengan murid, guru melakukan video conference dengan Zoom dan WhatsApp. Kegiatannya berlangsung setiap pagi selama Senin-Jum'at berupa sapa, salam dan do'a bersama sebelum memulai kegiatan belajar. Hal tersebut juga tidak diwajibkan, hanya bagi yang bisa saja. Video Conference yang wajib dilakukan hanya disaat tertentu saja, misalnya saat setoran hafalan, belajar tahsin, tilawati dan sejenisnya. Untuk pendokumentasian kegiatan belajar daring ini juga tidak diwajibkan bagi setiap murid. Pihak sekolah membagi jadwal harian untuk murid-murid yang memakai seragam dan mengirimkan dokumentasi kegiatan daring dalam bentuk foto. Sementara saat ujian, sekolah menggunakan aplikasi Quizizz dimana soal dalam bentuk pilihan ganda.
Kemudahan tersebut juga dirasakan anak saya yang masih berada di taman kanak-kanak. Sedari pertengahan Maret lalu, pihak sekolah membuatkan modul sesuai dengan tema kegiatannya. Perharinya, anak-anak diminta mengerjakan kegiatan tersebut dengan didampingi orangtua. Lalu untuk laporannya dilakukan dengan mengirim foto kegiatan anak melalui WhatsApp. Sementara untuk interaksi dengan murid biasanya dilakukan melalui Zoom. Itu pun tidak dilakukan setiap hari, karena anak-anak pun cenderung merasa risih. Maklum saja, namanya juga masih anak-anak yang berada di usia dini.
Namun, dari segala kemudahan tersebut, masih ada yang merasa kesulitan. Bukan karena tidak mau, tapi karena mereka kurang mampu, bahkan ada yang tidak mampu. Misalnya saja, ada teman sekelas anak saya di sekolah dasar yang harus lebih berjibaku dibanding lainnya. Pasalnya, murid tersebut harus sabar memakai handphone orangtuanya bergantian dengan kakaknya. Gawai tersebut pun kurang mumpuni untuk membaca beberapa jenis file materi yang dikirim sekolah. Ada juga yang baru bisa menyimak materi saat malam hari, karena gawainya dipakai orangtuanya yang bekerja sebagai supir angkutan kota. Bahkan ada lagi yang lebih parah, anaknya tidak bisa menyimak materi karena jatah kuota bulan tersebut sudah habis. Jadi, harus pergi ke rumah teman terdekat untuk melihat materi. Sedih, melihat dan mendengar hal tersebut, kami berusaha membantu sebisanya.
Saat pembukaan tahun pelajaran baru seminggu lalu, ada berita kurang baik. Teman sekelas anak harus pindah ke sekolah dasar negeri dengan alasan ekonomi. Sejak wabah melanda, kondisi ekonomi orangtuanya semakin terpuruk. Meski sudah memakai Kartu Jakarta Pintar (KJP), dan mendapat keringanan dari sekolah, tetap tidak menutupi kekurangan ekonominya. Namun, Alhamdulillah kakak si anak masih bisa diberi keringanan oleh pihak sekolah.
Tanpa bermaksud menyepelekan biaya pendidikan, biaya sekolah anak-anak masih tergolong sangat terjangkau. Bahkan, disaat pandemi seperti ini, biaya daftar ulang yang digunakan untuk kegiatan setahun kedepan sudah dipangkas oleh sekolah. Orangtua diberikan potongan biaya 50% untuk sekolah si kakak, dan potongan 30% untuk sekolah si adik. Saat masih di semester lalu pun, sekolah anak-anak menghimbau orangtua jika ada yang terdampak perkonomiannya saat wabah ini untuk segera melapor. Alhamdulillah, tentunya ini sangat dirasakan oleh orangtua, terutama yang penghasilannya sangat terdampak wabah. Di sisi lain, ada cerita teman yang mengajukan minta keringanan biaya di sekolah anaknya, tetapi tidak digubris sama sekali oleh pihak sekolah. Padahal, sekolah tersebut termasuk salah satu sekolah swasta ternama di Jakarta yang memiliki jejaring. Mungkin memang ada pertimbangan tertentu dari pihak sekolah sehingga tidak bisa memberikan keringanan biaya sama sekali. Wallahu'alam.
Saat pertemuan pembukaan tahun pelajaran baru melalui Zoom minggu lalu, kepala sekolah si adik juga menceritakan kisah sedih lainnya. Ada beberapa guru yang tidak dapat mengajar kembali karena beberapa alasan. Ada guru yang mengundurkan diri dengan alasan untuk mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Lalu, ada juga guru yang pindah rumah dan lokasinya jauh dari sekolah. Selain itu, ada juga guru yang kontrak masa kerjanya habis dan tidak diperpanjang. Namun, beliau berujar bahwa segenap tenaga pendidik yang ada akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak.
Beliau berucap syukur Alhamdulillah masih bisa mengadakan pembukaan tahun pelajaran baru ini, meski tidak semua anak kembali ke sekolah. Beberapa kali saya memperhatikan di grup WhatsApp sekolah, jumlah orangtua murid sekolah hanya 60% dari kuota sekolah. Berarti juga terjadi penurunan jumlah murid yang daftar baru dan daftar ulang di sekolah bermetode sentra ini. Berhubung si kakak dulu juga di TK ini, saya jadi paham betul kondisi sekolah. Biasanya jumlah murid di TK anak-anak ini termasuk paling banyak, sehingga TK sering menjadi perwakilan tingkat kecamatan untuk kegiatan yang diadakan Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia (IGTKI). Ada tiga kelompok pendidikan anak usia dini di sekolah ini, yaitu Kelompok Bermain, Kelompok A, dan Kelompok B. Jumlah murid kelompok bermain biasanya sekitar 10 anak. Sementara masing-masing untuk Kelompok A dan B dibagi lagi menjadi 3 kelas yang dikategorikan berdasarkan umur. Setiap kelas di Kelompok A dan B berisi sekitar 20-21 anak. MasyaAllah, ramai sekali suasana di sekolah kala itu sebelum wabah melanda.
Kepala sekolah melanjutkan ceritanya, ada beberapa teman beliau yang sesama kepala sekolah taman kanak-kanak tidak bisa membuka kembali sekolahnya. Pasalnya, tidak ada satu pun murid yang melanjutkan atau mendaftar di sekolah tersebut. Seketika suasana di Zoom meeting saat itu menjadi haru, mendengarkan cerita beliau yang sesekali sambil terisak sedih.
Selain kejadian tadi, beberapa teman yang anaknya di sekolah negeri juga menceritakan hal serupa. Jangankan untuk membeli kuota, untuk gawai saja mereka hanya ada satu atau bahkan tidak punya. Jadilah teman satu kelasnya bergotong royong membantunya, salah satunya patungan membelikan kuota internet. Pihak sekolah juga turun tangan dengan memberikan print out materi pembelajaran.
Soal pemberian bala bantuan ini juga sempat ramai di media sosial. Berbondong-bondong orang dari berbagai kalangan membuat donasi dalam berbagai bentuk. Ada warga yang mengumpulkan donasi dalam bentuk uang untuk membeli paket internet. Ada juga dari kalangan wartawan yang mengajak siapapun untuk mendonasikan telepon selulernya yang tidak dipakai untuk digunakan para murid kurang mampu. MasyaAllah.. Barakallahu.. Semoga Allah mudahkan perjuangan ini.
Beberapa kisah ini mungkin hanya sekelumit kesulitan dalam bidang pendidikan di masa pandemi ini. Mungkin masih banyak cerita pelik lainnya yang dialami murid, orangtua, guru dan segenap pihak yang berkaitan dengan pendidikan. Ada orangtua yang harus berjuang membagi waktu PJJ untuk kelima anaknya. Ada juga orangtua yang berprofesi sebagai guru dan harus tetap memberikan pendidikan untuk muridnya sekaligus membersamai anak-anaknya PJJ di rumah.
Mungkin banyak kisah sedih dan pilu lainnya, atau bahkan ada yang manteman alami sendiri. Akan tetapi, bukan maksud hati ingin menurunkan semangat dengan berbagi kisah sedih ini. Namun, hanya ingin menjadikan ini sebagai pengingat diri untuk selalu bersabar, bersyukur, dan saling membantu. Tetap semangat ya manteman. ❤️
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Masyaallah terima kasih sharingnya mbaa..mengaliir :)
BalasHapusSelalu ada cerita di balik musibah ya mba. Semoga semua di mudahkan untuk mengenyam pendidikan yang terbaik. Aamiin
BalasHapusSelalu ada hikmah di balik setiap kejadian mba :)
BalasHapusSemoga pandemi segera berakhir, hingga anak2 dpt beraktivitas seperti biasa. Aamiin...
BalasHapusMiris.. Dibatam pun ga jauh beda.
BalasHapusSemoga pandemi segera berakhir, da anak-anak bisa kembali bersekolah yah
Iya suka sedih dgn kondisi pengajaran slama pandemi ini, khususnya yg untuk kalangan yg kurang update teknologi..
BalasHapusYa Allah, semoga pandemi ini segera berakhir yaa
BalasHapusYa Allah, semoga keadaan bisa membaik dan bisa aktivitas seperti semula ya mba.
BalasHapusSemoga pandemi ini segera berakhir dan anak-anak bisa kembali masuk sekolah
BalasHapusSemoga kita selalu dilimpahkan keberkahan oleh Allah Ta'ala. Aamiin
BalasHapusSemoga pandemi ini segera berlalu, banyak sekali yang terkena dampak karena pandemi ini :(
BalasHapus