Senin, 30 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 21) - Cinta Kepada Allāh

Senin, 30 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 21)
Cinta Kepada Allāh
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Mencintai Allah merupakan ibadah yang agung. Cinta yang merupakan ibadah ini mengharuskan seorang muslim merendahkan dirinya dihadapan Allah, mengagungkan Allah yang akhirnya akan membawa seseorang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi apa yang Allah larang. Inilah cinta yang merupakan ibadah, barangsiapa yang menyerahkan cinta seperti ini kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik besar.
Allah berfirman :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman maka cinta mereka kepada Allah jauh lebih besar.”
(Q.S. Al Baqarah: 165)

Adapun cinta yang merupakan tabiat manusia seperti cinta harta, keluarga, pekerjaan, dll maka hal ini diperbolehkan selama tidak melebihi cinta kita kepada Allah. Apabila seseorang mencintai perkara-perkara tersebut melebihi cintanya kepada Allah mka dia telah melakukan dosa.
Allah berfirman :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, isteri-isteri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan Allah, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(Q.S. At-Taubah: 24)

Ketika terjadi pertentangan antara dua kecintaan maka disini akan nampak siapa yang lebih ia cintai dan akan nampak siapa yang cintanya benar dan siapa yang cintanya hanya sebatas ucapan saja. Diantara cara untuk memupuk rasa cinta kita kepada Allah adalah dengan mentadaburi, memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta demikian pula dengan cara mengingat-ingat berbagai kenikmatan yang Allah berikan.


Bersambung.....

Jumat, 27 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 20) - Riya

Jum'at, 27 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 20)
Riya
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Riya adalah seorang mengamalkan sebuah ibadah bukan karena ingin pahala dari Allah, tetapi ingin dilihat manusia dan dipuji. Riya hukumnya haram dan termasuk syirik kecil yang samar, yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Riya adalah sebab tidak diterimanya amal ibadah seseorang bagaimanapun besar amalan tersebut.
Rasulullah bersabda :

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah berfirman: Aku adalah Dzat yang paling tidak butuh dengan syirik, barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan dia menyekutukan Aku bersama yang lain di dalam amalan tersebut maka Aku akan meninggalkannya dan kesyirikannya”
(H.R. Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik kecil tidak ada harapan untuk diampuni Allah,artinya dia harus diadzab supaya bersih dari dosa riya’; berbeda dengan dosa besar yang ada di bawah kehendak Allah, kalau Allah menghendaki maka diampuni langsung dan kalau Allah menghendaki maka diadzab.
Mereka berdalil dengan keumuman ayat:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa yang lain bagi siapa yang dikehendaki”.
(Q.S.An Nisaa: 48)
Tahukah kita siapa orang yang pertama kali akan dinyalakan api neraka dengan mereka?
Mereka bukanlah preman-preman di jalan, dan bukan pembunuh yang kejam…tapi mereka adalah seorang yang mengajarkan Al Quran supaya dikatakan qari’, berinfaq supaya dikatakan dermawan, dan berjihad supaya dikatakan pemberani. Mereka beramal bukan karena Allah.
Sebagaimana dikabarkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan At Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Oleh karena itu, ikhlaslah dalam beramal. sungguh mahal harganya, para salafpun merasakan beratnya memperbaiki hati. Hanya kepada Allah kita meminta keikhlasan dalam beramal, menjauhkan kita dari riya’, sum’ah, ujub dan berbagai penyakit hati. Mari kita biasakan menyembunyikan amal kita meskipun dari orang-orang terdekat, kecuali kalau ada mashlahat yang lebih kuat.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk mempelajari agamanya.


Bersambung.....

Kamis, 26 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 19) - Bersumpah Dengan Selain Nama Allāh

Kamis, 26 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 18)
Bersumpah Dengan Selain Nama Allāh
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Sumpah adalah menguatkan perkataan dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan baik oleh orang yang berbicara maupun yang diajak bicara. Di dalam bahasa arab maka dengan menggunakan huruf و / ب  /   ت. Adapun bahasa Indonesia menggunakan kata “demi”. Bersumpah hanya diperbolehkan dengan nama Allah semata misalnya Wallahi (demi Allah), demi Rabb yang menciptakan langit dan bumi, demi dzat yang jiwaku berada ditangannya, dll.
Adapun makhluk bagaimanapun agungnya dimata manusia maka tidak boleh bersumpah dengan namanya misalnya dengan mengatakan demi rasul, demi ka’bah, demi jibril, demi bulan dan bintang, demi langit dan bumi,dll. Ini semua termasuk jenis pengagungan terhadap makhluk yang terlarang.

Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kafir atau berbuat syirik.”
(H.R. Abu Daud No. 2829, At-Tirmizi No. 1535, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ No. 6204)

Syirik pada hadits ini pada asalnya adalah syirik kecil yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam. Namun, bisa sampai kepada syirik besar bila dia mengucapkan sumpah dengan makhluk disertai pengagungan seperti kalau dia mengagungkan Allah. Hal ini seperti pengagungan ibadah seperti sumpah yang dikatakan oleh orang-orang musyrik dengan mengatakan demi wisnu, demi dewa fulan, demi latta,dll.


Bersambung.....

Rabu, 25 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 18) - Meramal Nasib Dengan Bintang

Rabu, 25 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 18)
Meramal Nasib Dengan Bintang
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Bintang adalah makhluk yang menunjukkan kekuasan dan kebesaran Allah Subhānahu wa Ta’āla. Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mengabarkan di dalam Al Qur’an bahwa bintang ini memiliki 3 faedah, yaitu
  1. Sebagai perhiasan langit, (Q.S. Al Hijr: 16), (Q.S. As-Saffat: 6), (Q.S. Fussilat: 12),
  2. Sebagai alat pelempar setan, (Q.S. Al Mulk: 5)
  3. Sebagai petunjuk manusia seperti mengetahui arah mata angin (utara, selatan, barat dan timur), datangnya musim menanam, arah kiblat,dll. (Q.S. Al-An’am: 97)
Allah Subhānahu wa Ta’āla tidak menciptakan bintang untuk perkara yang lain selain 3 perkara diatas. Seorang salaf yang bernama Qatada Ibnu Diamah As Sadusi seorang ulama yang meninggal kurang lebih pada tahun 110 H beliau menjelaskan bahwa barang siapa meyakini bahwasanya bintang memiliki faedah yang lain selain 3 hal diatas maka dia telah salah dan berbicara tanpa ilmu. Ucapan ini dikeluarkan oleh Imam Al Bukhari di dalam shohih beliau.
Contohnya adalah meyakini bahwasanya terbit dan tenggelamnya bintang atau berkumpul dan terpisahnya beberapa bintang berpengaruh kepada keberuntungan seseorang di masa yang akan datang. Baik dalam masalah rejeki, jodoh,dll.
Seperti kolom yang ditemukan di beberapa koran dan juga majalah, membacanya dan mempercayainya adalah perbuatan yang haran dan termasuk dosa besar. Sebagian ulama mengatakan hukumnya seperti orang yang mendatangi dukun dan bertanya kepadanya ancamannya tidak diterima shalatnya selama 40 hari.
Hendaknya kita semua takut kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla dan janganlah sekali-kali membaca kolom-kolom tersebut dan janganlah memasukkannya ke dalam rumah kita. Kita tutup segala pintu yang bisa merusak aqidah kita dan keluarga kita karena aqidah merupakan modal memasuki surga Allah Subhānahu wa Ta’āla dengan selamat.

Bersambung.....

Selasa, 24 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 17) - At-Tathoyyur (Merasa Sial Dengan Sesuatu)

Selasa, 24 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 17)
At-Tathoyyur (Merasa Sial Dengan Sesuatu) 
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

At Tathoyur adalah merasa akan bernasib sial karena melihat atau mendengar kejadian tertentu seperti melihat tabrakan atau orang yang berkelahi atau yang semisal kemudian hal tersebut menyebabkan dia tidak jadi melaksanakan hajatnya seperti bepergian, berdagang, dan lainnya.
At Tathayur termasuk syirik kecil apabila perasaan tersebut kita ikuti. Rasulullashallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

"Barangsiapa yang At Thiyarah menyebabkan dia tidak jadi melaksanakan hajatnya, maka dia telah berbuat syirik."
(H.R. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1065).
Perasaan ini sebenarnya tidak akan mempengaruhi takdir sebagaimana hal ini dinafi’kan dan diingkari oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَهَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Tidak ada adwa (penyakit menular), thiyarah, hammah dan shafar.”
(H.R. al-Bukhari, 10/206 dan Muslim, no. 2220). 
Maksudnya thiyarah ini hanyalah sebuah perasaan saja yang tidak akan berpengaruh terhadap takdir AllahOleh karena itu seorang muslim tidak boleh mengikuti was-was setan ini dan hendaknya ia memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua yang terjadi di permukaan bumi berupa kebaikan dan keburukan adalah dengan takdir Allah semata.
Seorang mukmin, hendaknya yakin bahwa tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah dan tidak melindungi dari keburukan kecuali Allah, hanya bertawakal kepada AllaSubhānahu wa Ta’āla semata dan berbaik sangka kepada Allah.
Apabila datang perasaan tersebut maka hendaknya segera dihilangkan dengan tawakal dan tetaplah melaksanakan hajatnya dan apa yang terjadi setelah itu adalah takdir Allah Subhānahu wa Ta’āla. Adapun At tafaul maka diperbolehkan oleh agama kita yaitu berbaik sangka kepada Allah karena melihat atau mendengar sesuatu
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering bertafaul seperti ketika perjanjian hudaibiyah utusan Quraisy saat itu bernama Suhail dan suhail adalah bentuk pengecilan dari kata sahl yang berarti yang mudah. Maka beliaupun berbaik sangka kepada Allah bahwa perjanjian ini adalah membawa kemudahan dan kebaikan bagi umat Islam. Maka benarlah persangkaan beliau bahwa Allah membuka setelah perjanjian tersebut pintu-pintu kemudahan bagi umat islam.

Bersambung.....

Senin, 23 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 16) - Perdukunan

Senin, 23 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 16)
Perdukunan
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Dukun adalah orang yang mengaku mengetahui sesuatu yang ghoib, yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia seperti mengetahui barang yang hilang, pencurinya, mengetahui ramalan nasib, dan lain-lain. Dia mengaku mengetahui hal-hal tersebut dengan cara-cara tertentu seperti melihat bintang, menggaris di tanah, melihat air yang ada di mangkok, dan lain-lain.
Dengan cara ini para dukun memakan harta manusia. Perdukunan dengan namanya yang bermacam-macam adalah perkara yang diharamkan di dalam agama Islam. Ilmu ghoib yang mereka akui  pada hakikatnya adalah kabar dari jin yang mereka mintai bantuan. Sedangkan cara-cara tersebut  hanyalah untuk menutupi kedoknya sebagai seorang yang meminta bantuan jin dan juga setan.
Iblis sudah berjanji akan menyesatkan manusia dan menyeret mereka bersamanya ke dalam neraka. Iblis dan juga keturunannya tidak akan membantu sang dukun kecuali apabila dukun tersebut kafir kepada Allah. Para ulama menghukumi dukun sebagai orang yang kafir dengan sebab ini dan harta yang didapatkan dari pekerjaan ini adalah harta yang haram.
Berkaitan dengan ramalan yang kadang benar maka sebagaimana yang dikabarkan Nabi dalam hadits yang shohih bahwa para jin bekerja sama mencuri kabar dari langit, apabila mendengar sesuatu maka jin yang diatas akan mengabarkan kepada yang dibawahnya dan seterusnya hingga sampai ke telinga dukun. Terkadang ia terkena lemparan bintang sebelum menyampaikan kabar tersebut dan terkadang pula sempat menyampaikan sebelum akhirnya terkena lemparan bintang.
Kabar sedikit yang sampai ini akan ditambah-tambahi oleh dukun tersebut dengan kedustaan yang banyak. Apa yang benar terjadi sesuai dengan yang dia kabarkan akan dijadikan alat mencari pembenaran dan kepercayaan dari manusia. Orang Islam dilarang sekali-kali datang ke dukun dengan maksud meminta bantuan bagaimanapun susahnya keadaan dia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dari Abu Hurairah dan Al Hasan:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“barangsiapa yang mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dia ucapkan maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
(H.R. Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh syaikh Al Albani)

Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“barangsiapa mendatangi dukun kemudian bertanya kepadanya sesuatu maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.”
(H.R. Muslim)

Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa mendatangi dukun tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam, tapi kedua hadits diatas cukup menunjukkan besarnya dosa orang yang mendatangi dukun.
Semoga Allah menjadikan kita merasa cukup dengan yang halal dan menjauhkan kita dari yang haram.


Bersambung...

Jumat, 20 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 15) - Sihir

Jum'at, 20 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 15)
Sihir  
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Sihir bermacam-macam jenisnya. Sihir yang merupakan kesyirikan adalah sihir yang terjadi dengan meminta pertolongan kepada setan. Padahal, setan tidak akan menolong seseorang kecuali setelah melakukan perkara yang dia ridhai yaitu kufur kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla dengan cara menyerahkan sebagian ibadah kepada setan tersebut atau menghinakan Al-Qur’an  atau dengan mencela agama dan sebagainya.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).”
(Q.S. Al-Baqarah : 102)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Hendaklah kalian menghindari tujuh dosa yang dapat menyebabkan kebinasaan.” Dikatakan kepada beliau, “Apakah ketujuh dosa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dosa menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba, lari dari medan pertempuran, dan menuduh wanita mukminah baik-baik berbuat zina.”
(H.R. Al-Bukhari no. 2560 dan Muslim no. 129)
Hukuman bagi tukang sihir jenis ini adalah hukuman mati bila dia tidak bertobat sebagaimana telah dicontohkan oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang berhak untuk melakukan hukuman tersebut adalah pemerintah yang sah dan bukan individu.
Mempelajari sihir termasuk perkara yang diharamkan bahkan sebagian ulama menghukumi pelakunya keluar dari Islam. Demikian pula meminta supaya disihirkan juga perbuatan haram karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan:
لَيْسَ مِنَّا من تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ له أو تَكَهَّنَ أو تُكُهِّن له أو سَحَرَ أو سُحِرَ له
Bukan dari golonganku (Rasulullah) orang yang mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya atau minta diundikan untuknya, meramal sesuatu yang ghaib (dukun) atau minta diramalkan untuknya atau melakukan sihir atau minta disihirkan untuknya”.
(diriwayatkan oleh Al Bazar dalam musnadnya dan dishohihkan oleh syaikh Al Albani).
Seorang muslim hendaknya mengambil sebab untuk membentengi diri dari sihir diantaranya adalah dengan menjaga dzikir-dzikir yang disyariatkan seperti dzikir pagi dan petang, dzikir-dzikir setelah shalat 5 waktu, dzikir akan tidur, mau makan, keluar rumah, masuk rumah, masuk dan keluar kamar kecil, dll.
Selain itu, membersihkan diri dan juga rumah dari perkara-perkara yang membuat ridho setan seperti jimat-jimat, musik, gambar makhluk bernyawa, dll. Bila Qadarullah terkena sihir maka hendaknya bersabar, merendahkan diri kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla, memohon dariNya kesembuhan, dan berpegang dengan ruqyah-ruqyah yang disyariatkan. Jangan sekali-kali dia berusaha untuk menghilangkan sihir dengan cara meminta bantuan jin baik secara langsung maupun lewat bantuan dukun, paranormal, dan yang sejenisnya.
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari segala kejelakan di dunia dan di akhirat.

Bersambung.....

Kamis, 19 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 14) - Berlebihan Terhadap Orang Shalih Pintu Kesyirikan

Kamis, 19 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 14)
Berlebihan Terhadap Orang Shalih Pintu Kesyirikan 
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Halaqah yang ke-14 “Berlebihan terhadap orang shalih adalah pintu kesyirikan.”
Orang yang shalih adalah orang yang baik karena mengikuti syariat Allāh, baik dalam hal aqidah, ibadah maupun dalam hal muamalah. Mereka memiliki derajat yang berbeda-beda di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Terhadap orang shalih, seorang Muslim diperintahkan untuk:
1. Mencintai mereka.
2. Mengikuti jejak mereka dalam kebaikan.
Berteman & bermajlis dengan mereka adalah sebuah keberuntungan. Membaca perjalanan hidup mereka bisa menambah keimanan & meneguhkan hati kita. Menghormati mereka juga diperintahkan selama masih dalam batas yang diizinkan agama.

Namun, berlebih-lebihan terhadap orang yang shalih, seperti:
1. Mendudukkan mereka di atas kedudukannya sebagai manusia. 
2. Mensifati mereka dengan sifat-sifat yang tidak pantas kecuali untuk Allāh.
Maka ini hukumnya haram (tidak diperbolehkan oleh agama) karena menjadi pintu terjadinya kesyirikan & penyerahan sebagian ibadah kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Mencintai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melebihi cinta kita kepada orang tua, anak & semua manusia adalah sebuah kewajiban agama, sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ


"Tidak beriman salah seorang diantara kalian, sampai Aku lebih dia cintai daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia."
(H.R. Bukhari - Muslim)

Namun, Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kita (untuk) berlebih-lebihan terhadapnya, dengan mendudukkan Beliau di atas kedudukan Beliau yang sebenarnya, yaitu sebagai hamba Allāh & seorang Rasul.

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.
Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Īsā ibn Maryam. Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya maka katakanlah. ‘Hamba Allāh & Rasul-Nya’.”
(H.R. Al Bukhari)

Beliau (Rasul) adalah seorang hamba, maka tidak boleh disembah. Beliau adalah seorang rasul, maka tidak boleh dicela & diselisihi.
Apabila berlebih-lebihan terhadap (sebaik-baik manusia yaitu) Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak diperbolehkan, maka bagaimana dengan yang lain?
Diantara bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang yang shalih adalah:
⑴ Meyakini bahwasa mereka mengetahui ilmu ghaib
⑵ Membangun di atas kuburan mereka
⑶ Beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’ālā di samping kuburan mereka

Paling parah adalah menyerahkan sebagian ibadah kepada mereka.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla melapangkan hati kita untuk menerima kebenaran.

Bersambung.....

Rabu, 18 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 13) - Syafa'at

Rabu, 18 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 13)
Syafa'at 
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Syafā’at adalah meminta kebaikan bagi orang lain di dunia maupun di akhirat. Allâh Subhānahu wa Ta’āla & Rasul-Nya telah mengabarkan kepada kita tentang adanya syafā’at pada hari kiamat. Diantara bentuknya adalah bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengampuni seorang muslim dengan perantara do’a orang yang telah Allāh izinkan untuk memberikan syafa’at.
Syafa’at akhirat harus kita imani dan kita berusaha untuk meraihnya. Adapun modal utama untuk mendapatkan syafā’at akhirat adalah bertauhid dan bersihnya seseorang dari kesyirikan.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda ketika beliau mengabarkan tentang bahwasanya beliau memiliki syafā’at pada hari kiamat, beliau mengatakan:
فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ الله مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا
Syafa’at itu akan didapatkan insyā’ Allāh oleh setiap orang yang mati dari umatku yang tidak menyekutukan Allāh sedikitpun.”
(H.R. Muslim)
Merekalah orang-orang yang Allāh ridhai karena ketauhidan yang mereka miliki.
Allâh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
…وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ…
“…Dan mereka (yaitu para nabi para malaikat dan juga yang lain) tidak memberikan syafā’at kecuali bagi orang-orang yang Allāh ridhai…”.
(Q.S. Al-Anbiyaa’ 28)
Syafā’at di akhirat ini berbeda dengan syafā’at di dunia. Seseorang pada hari kiamat tidak bisa memberikan syafā’at bagi orang lain kecuali setelah diizinkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā, meskipun dia seorang nabi atau seorang malaikat sekalipun.
Sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’ālā :
ﻣَﻦ ﺫَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻯ ﻳَﺸْﻔَﻊُ ﻋِﻨﺪَﻩُۥٓ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِۦ ٓ
“Tidaklah ada yang memberikan syafa’at di sisi Allāh Ta’ālā kecuali dengan izin-Nya.”
(Q.S. Al-Baqarah 255)
Oleh karena itu permintaan syafā’at hanya ditujukan kepada Allāh, Zat yang memilikinya. Seperti seseorang mengatakan di dalam  do’anya, “Ya Allāh, aku meminta syafa’at Nabi-Mu.” Inilah cara meminta syafā’at yang diperbolehkan.  Bukan dengan meminta langsung kepada Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam seperti mengatakan, “Ya Rasūlullāh, berilah aku syafā’atmu.” Atau dengan cara menyerahkan sebagian ibadah kepada makhluk dengan maksud meraih syafā’atnya. Cara seperti ini adalah cara yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin zaman dahulu.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ﻭَﻳَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّﻫُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻬُﻢْ ﻭَﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﻫَٰﺆُﻟَﺎﺀِ ﺷُﻔَﻌَﺎﺅُﻧَﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺗُﻨَﺒِّﺌُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ۚ ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻪُ ﻭَﺗَﻌَﺎﻟَﻰٰ ﻋَﻤَّﺎ ﻳُﺸْﺮِﻛُﻮﻥ
“Dan mereka menyembah kepada selain Allāh, sesuatu yang tidak memudharati mereka dan tidak pula memberikan manfaat dan mereka berkata: “Mereka adalah pemberi syafa’at bagi kami disisi Allāh”. Katakanlah: “Apakah kalian akan mengabarkan kepada Allāh sesuatu yang Allāh tidak ketahui di langit maupun di bumi?”. Maha Suci Allāh dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.”
(Q.S Yunus: 18)

Bersambung.....

Selasa, 17 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 12) - Berdoa Kepada Selain Allah Termasuk Syirik Besar

Selasa, 17 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 12)
Berdoa Kepada Selain Allah Termasuk Syirik Besar 
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Berdo’a kepada Allāh adalah seseorang menghadap Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan maksud supaya Allāh mewujudkan keinginannya, baik dengan meminta atau dengan merendahkan diri, mengharap dan takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Berdo’a dengan makna di atas adalah ibadah.

Berkata An-Nu’mān Ibnu Basyīrin radhiyallāhu ‘anhu :
“Aku mendengar Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallama bersabda:
الدعاء هو العبادة
‘Do’a adalah ibadah.’

Kemudian Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam membaca ayat:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺭَﺑُّﻜُﻢُ ﺍﺩْﻋُﻮﻧِﻲ ﺃَﺳْﺘَﺠِﺐْ ﻟَﻜُﻢْ ۚ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺴْﺘَﻜْﺒِﺮُﻭﻥَ ﻋَﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩَﺗِﻲ ﺳَﻴَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺩَﺍﺧِﺮِﻳﻦَ
“Dan Rabb kalian berkata : ‘Berdo’alah kalian kepadaKu, niscaya Aku akan mengabulkan kalian. Sesungguhnya orang- orang yang sombong dari beribadah kepadaKu, mereka akan masuk ke dalam neraka jahanam dalam keadaan terhina’.”
(Q.S. Ghāfir: 60)

(H.R. Abū Dāwūd, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh).

Dan makna “beribadah kepadaKu” pada ayat ini adalah “berdoa kepadaKu”.
Apabila do’a adalah ibadah yang merupakan hak Allāh Subhānahu wa Ta’āla semata, maka berdo’a kepada selain Allāh dengan merendahkan diri di hadapannya, mengharap dan juga takut kepadanya, sebagaimana ketika dia mengharap dan takut kepada Allāh adalah termasuk syirik besar.

Dan termasuk jenis do’a adalah:
1. Istighātsah (meminta dilepaskan dari kesusahan)
2. Isti’ādzah (meminta perlindungan)
3. sti’ānah (meminta pertolongan)
Apabila di dalamnya ada perendahan diri, pengharapan dan takut, maka ini adalah ibadah, hanya diserahkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla semata.

Namun, perlu diketahui bahwasanya boleh seseorang beristighātsah, beristi’ādzah, beristi’ānah kepada seorang makhluk dengan 4 syarat:
1. Makhluk tersebut masih hidup.
2. Dia berada di depan kita atau bisa mendengar ucapan kita.
3. Dia mampu sebagai makhluk untuk melakukannya.
4. Makhluk tersebut diyakini hanya sebagai sebab, sehingga tidak boleh bertawakkal kepada sebab tersebut. Akan tetapi, bertawakkal kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan sebab tersebut.

Orang yang beristighātsah, beristi’ādzah atau beristi’ānah kepada orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup, tetapi tidak berada di depan kita atau tidak mendengar ucapan kita atau meminta makhluk perkara yang tidak mungkin bisa melakukan kecuali Allāh, maka ini termasuk syirik besar.

Bersambung.....

Senin, 16 September 2019

HSI - Belajar Tauhid (Halaqah 11) - Ar-Ruqyah (Jampi-Jampi)

Senin, 16 September 2019

Halaqah Silsilah Ilmiah (HSI)

Belajar Tauhid (Halaqah 11)
Ar-Ruqyah (Jampi-Jampi) 
Disampaikan oleh Ust. Dr. Abdullah Roy, M. A. Hafidzahulloh.

Halaqah yang ke-11 dari Silsilah Belajar Tauhid adalah tentang “Ar-Ruqyah (Jampi-jampi)”
Ar Ruqyah yaitu bacaan yang dibacakan kepada orang yang sakit supaya sembuh.
Bacaan ini diperbolehkan selama tidak ada kesyirikan.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺮْﻗِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﻓَﻘُﻠْﻨَﺎ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﻴْﻒَ ﺗَﺮَﻯ ﻓِﻲ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻋْﺮِﺿُﻮﺍ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭُﻗَﺎﻛُﻢْ ﻟَﺎ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟﺮُّﻗَﻰ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻓِﻴﻪِ ﺷِﺮْﻙٌ

Dari ‘Auf bin Mālik radiyallāhu ‘anhu berkata; Kami dahulu meruqyah di zaman Jahiliyyah, maka kami bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam :
“Yā Rasūlullāh, apa pendapatmu tentang ruqyah ini?”
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“Perlihatkanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian, sesungguhnya ruqyah tidak mengapa selama tidak ada kesyirikan”.
(H.R. Muslim).

Ruqyah yang tidak ada kesyirikan seperti ruqyah dari:
• Ayat-ayat Al Qur’an
• Do’a-do’a yang diajarkan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam (ini lebih utama).
• Do’a-do’a lain yang diketahui kebenaran maknanya baik dengan bahasa Arab maupun dengan selain bahasa Arab.

Hendaknya orang yang meruqyah ataupun yang diruqyah meyakini bahwasanya ruqyah hanyalah sebab semata, tidak berpengaruh dengan sendirinya dan tidak boleh seseorang bertawakal kepada sebab tersebut.
Seorang Muslim mengambil sebab dan bertawakkal kepada Dzat yang menciptakan sebab tersebut, yaitu Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Ruqyah yang mengandung kesyirikan adalah jampi-jampi atau bacaan yang mengandung permohonan kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla, baik kepada seorang jin, wali atau lainnya, biasanya disebutkan disitu nama-nama mereka.
Tidak jarang jampi-jampi seperti ini dicampur dengan ayat-ayat Al-Qurān atau dengan nama-nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla atau dengan kalimat yang berasal dari bahasa Arab.
Tujuannya untuk mengelabui orang-orang yang jahil dan tidak tahu.

Ruqyah yang mengandung kesyirikan telah dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam sabda Beliau:

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺮُّﻗَﻰ ﻭَﺍﻟﺘَّﻤَﺎﺋِﻢَ ﻭَﺍﻟﺘِّﻮَﻟَﺔَ ﺷِﺮْﻙٌ
’’Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat dan juga pelet adalah syirik’’.
(H.R. Abū Dāwūd, Ibnu Mājah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullāh)


Bersambung.....